The zero sum dream

Dear r,

Aku teh udah banyak juga ya dipikir-pikir memberikan perhatian dan pengorbanan buat orang itu. Waktu, perhatian, semangat, dukungan, kepedulian, rasa sayang, simpati, pembelaan, sumbangan ide. Banyak dan berat. Aku juga dulu ngejalaninnya dengan senang. Mau dia sejatuh apa, sedark apa, seputus asa apa, semarah apa, sebutuh perhatian apa, serewel apa, sebikin cape aku apa, sebikin sakit hati aku apa, aku tetep ngejalaninnya dengan happy karena ya aku happy aja. Dia mungkin memang ngga means everythinh to me. Tapi ya justru mungkin dia yang ngebantu aku memahami diri aku sendiri dan menghargai diri aku sendiri. Aku jadi tau rasanya dibutuhkan, rasanya disukai, rasanya dihargai, rasanya dicari, dan banyak hal lain yang ga aku dapatkan waktu remaja.

Tapi itu udah cukup.

Harga yang harus aku bayar juga gede. Rasa sakit hati, rasa ditinggalkan, rasa marah, rasa ngga dianggap. Itu juga berat. Untuk semua hal happy yang sementara itu, aku hrs bayar dan ingat dgn harga yang bikin aku terjatuh dalam banget.

Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari dia. Menyenangkan juga. Tapi sekarang harganya jadi jauh lebih mahal. Alias, rasa sakit hatinya teramat besar, aku ga bisa lagi bayar. Aku juga harus pakai perhatian aku itu untuk hal lain. Yang juga untuk aku sendiri, yakni berhasil sekolah. Aku udah janji untuk jadi lebih baik di 2 mata kuliah semester sekarang dan mata kuliah lain di semester lain. Aku gabisa mengalokasikan perhatian aku untuk mendapatkan kebahagiaan yang dulu aku dapatkan dari dia itu.

Ini rasanya kayak les yang aku senangi distop karena ga ada uang lebih dan waktu lebih. Cuman bukan berarti aku juga ga akan happy. Toh aku juga yang milih untuk sekolah di sini. Aku harus berhasil di sini dengan bayaran perhatian aku yang full di sini.

Sedih juga ya ternyata dia bukan orang yang bisa aku jadiin win-win agreement. Ternyata ya dia adalah zero sum. Mungkin aku gatau bahwa dia juga dalam hatinya bikin ketetapan aku untuk milih dia atau milih sekolah. We never know. Bagiku sekolah adalah hal yang baik. Bagi dia ya engga.

I choose this. Aku milih sekolah. Kl gitu ya udah aku hrs bayar ini dengan tenaga dan perhatianku.

Mungkin juga aku sok jago dgn bilang sebenernya ini bisa win-win padahal ya engga juga, aku ga akan bisa kuat juga meski misalnya dia juga bisa win-win. Aku nganggep ini mudah untuk win-win, tapi mungkin bagi dia engga dan dia mau berhenti.

Atau bisa juga ya dia selama ini ya udah akhirnya sampai dan dapat pada hal yang dia inginkan jadi dia pikir ya sudah saatnya pergi. Lalu aku bisa apa? Ikhlasin aja. Bersyukur aja karena aku udah pernah bikin orang bahagia dan skrg udah kuat jalan sendiri. Kalau dalam prosesnya aku udah bikin dia sakit hati, ya toh juga aku udah minta maaf. Yaudah ikhlasin selesein. Aku udah beramal banyak juga untuk dia.

Ini proses yang berat.

Ngelepasin orang tanpa tau alasannya kenapa itu berat. Menduga-duga apakah ditinggalkan karena marah atau karena menjadikan hal ini zero sum atau mau ngetes ke level apa lagi kepedulian aku ke dia juga berat. Berat banget. Aku harus sadar bahwa aku punya batasan dan keinginan sendiri.

Aku mau sekolah.

Aku gamau nyerah sekolah.

Aku punya cita-cita.

At least buat menguasai juga ekonomi supaya aku ga buta kalau aku ada di atas.

Silly cita-cita but itu hal yang mendasari aku di sini. Aku mau jadi diplomat yang paham ekonomi. Aku mau jadi duta besar juga.

Ini tu kayak jaman aku pas mau ngelepasin pak tedi yang aku bilang ya aku suka ama dia tapi aku juga selalu punya bayangan akan diri aku sendiri bawa kopi nyebrang jalan pake baju bagus di luar negeri. Thats what I reach now.

Sama kyk sekarang lagi.

Aku punya cita-cita.

Dia juga tau itu.

Dia juga udah berusaha ngehalangin tapi aku tetap pergi.

Aku bilang aku bisa tetap peduli, sama kayak aku bilang ke pak tedi kalau aku bisa jadi istri dan ibu yang baik, tapi ya mungkin dia yang gabisa dan dia gamau percaya.

Harapanku kan ya bisa tetap kayak di Jakarta, ya baik-baik aja dan ga berbeda. Ya tapi siapa tau bahwa harapan dia ya beda. Ya dia juga mungkkn ga akan nganggap itu sama. Ya dia pergi.

Atau bisa juga dia ngetes sepeduli apa aku ke dia dengan ngasi leverage kayak gitu dan ga pernah berhenti marah dan nyerca aku.

Bagi dia mungkin kepedulian itu konstan dan ga ada batasnya. Dinaikin level tesnya harusnya tetap peduli.

Tapi

Bagiku peduli itu ada batasnya. Aku gabisa ngikutin tes ini untuk naik level.

Ini terlalu berat.

Aku berdarah.

Aku gabisa bayarnya lagi.

Batas peduli aku di sini aja.

Dan ga masalah kalau aku gabisa ngikutin ini lebih tinggi.

Toh juga kalau lulus ya ga akan kemana-mana.

Ada di bawah kontrol dia pun ga akan bisa bikin aku gimana-gimana.

Malah tambah terpuruk.

Dia gamau ninggalin yang di sana juga.

Kalaupun ninggalin, terus apa bakal ke aku?

Terus kalau ke aku, apa aku akan punya kebebasan kayak sekarang?

Terpuruk aja.

Aku gabisa kayak gitu.

Aku harus berjuang untuk diri aku sendiri. Aku ga boleh maksain diri. Bagi dia mungkin aku berhenti peduli, tapi bagi aku ya sebenernya ga berhenti juga kalau cuma hanya karena aku sekolah.

Balik lagi ke cita-cita aku apa…

Aku harus berjuang untuk diri aku sendiri.

Aku harus bisa ikhlas lepasin dia, berhenti cari kebahagiaan dari dia. Bayarannya terlalu mahal dan cuma bakal bikin aku bangkrut. Dan terkekang.

My light now is my dream.

I will work toward that.

Ya sekarang waktunya untuk menerima ikhlas bahwa